Kamis, 05 Juli 2007

Bisnis karet yang menggiurkan

Tahun Produksi Kondusmi

Karet alam karet sintetis total karet alam karet sintetis total

1996 6.440 9.760 16.200 6.110 9.590 15.700
1997 6.470 10.080 16.550 6.460 10.000 16.460
1998 6.850 9.880 16.730 6.570 9.870 16.440
1999 6.872 10.336 17.208 6.646 10.188 16.834
2000 6.764 10.818 17.582 7.383 10.759 18.142
2001 7.242 10.483 17.725 7.334 10.247 17.581
2002 7.303 10.882 18.185 7.627 10.717 18.344
2003 7.976 11.390 19.366 8.003 11.397 19.400
2004 8.639 11.989 20.628 8.579 11.850 20.429
2005 8.821 12.053 20.874 9.000 11.955 20.955
*2006 7.764 10.355 18.119 7.375 10.423 17.798
Catatan: * January - October
Sumber: International Rubber Study Group (IRSG)


Sasaran jangka panjang 2025
Produksi karet mencapai 3,5 – 4 juta ton yang 25% di antaranya untuk industri dalam negeri;
Produktivitas meningkat menjadi 1.200 -1.500 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus;
Penggunaan klon unggul (85%);
Pendapatan petani menjadi US$ 2.000/KK/th dengan tingkat harga 80% dari harga FOB;
Berkembangnya industri hilir berbasis karet.
Sasaran jangka menengah (2005-2009)
1. Produksi karet mencapai 2,3 juta ton yang 10% di antaranya untuk industri dalam negeri
2. Produktivitas meningkat menjadi 800 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus
Penggunaan klon unggul (55%); (d) Pendapatan petani menjadi US$ 1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga FOB
Berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet.
Sumber: Deptan


Bisnis karet yang menggiurkan
Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia


Dari data Freedonia, perusahaan spesialisasi untuk research yang berdiri sejak 1985 di Cleveland, AS, mengungkapkan permintaan karet dunia --alam dan sintetis-- ke depan akan terus bertumbuh.
Menurut prediksi perusahaan itu, yang tahun lalu membuka perwakilannya di China, akan terjadi kenaikan konsumsi 3,8%. Itu didorong oleh solidnya pertumbuhan produksi kendaraan dan kuatnya ekonomi global. China akan tumbuh cepat terutama industri yang berbasis karet. Pasar besar di Amerika Utara juga akan tumbuh di atas rata-rata.
Free University Belanda, dalam kajiannya, memproyeksikan pertumbuhan produksi karet dunia pada 2020 diperkirakan akan mencapai 7,8 juta ton, sedangkan konsumsi pada tahun yang sama bisa mencapai 13,47 juta ton. Dengan demikian terjadi kekurangan produksi (defisit) karet alam sebesar 5,65 juta ton.
Senada dengan itu, laporan International Rubber Study Group pada 2006 menyebutkan pada 2035 permintaan karet alam di pasar international bisa mencapai 15 juta ton atau naik dua kali lipat dari posisi 2005 yang hanya 8,5 juta ton.
Ini didorong oleh beberapa faktor a.l. karet sudah menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan manusia sehari-hari yang terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet.
Sebut misalnya a.l. ban, conveyor belt, sabuk fender, sepatu dan sandal karet. Kemudian karet sintetik yang dulu dianggap sebagai penghambat prospek produksi karet alam ternyata saat ini kurang diminati, khususnya produsen ban, karena harga minyak yang terus naik dan kualitas karet sintetik tidak sebaik karet alam dalam hal kekenyalannya.
Selain itu juga karena faktor pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat dalam 10 tahun terakhir, terutama di China, dan India, Korea serta Brasil, yang mendorong permintaan atas karet alam, serta ditemukannya formula baru dalam pembuatan ban oleh Sumitomo Dunlop Jepang yang kandungan karet alamnya mencapai 70% dari sebelumnya hanya 30%-40%.
Sebagaimana diketahui, total volume karet alam dunia pada 2005 mencapai 8,83 juta ton yang disumbangkan dari tiga negara produsen karet alam utama yaitu Thailand sebesar 3,01 juta ton, Indonesia 2,25 juta ton dan Malaysia dengan volume produksi 1,17 juta ton, sisanya berasal dari negara Asia lainnya, Afrika dan Amerika latin. Namun beberapa tahun ke depan, Indonesia diramalkan akan menyodok posisi Thailand.
Deptan, melalui Badan Litbang, pun menegaskan agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis.
Pada 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi. Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik.
Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Arah pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kandungan IPTEK dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif.
Mentan Anton Apriyantono pun mengatakan harga karet semakin membaik. Saat ini harga karet SIR 20 sekitar US$2,15 per kg setelah sempat terpuruk hingga US$0,45 per kg pada akhir 2001.
Karet alam sangat penting artinya bagi perekonomian Indonesia. Ekspor karet Indonesia menyumbang devisa negara US$2,6 miliar pada 2005 atau sekitar 5% dari pendapatan devisa nonmigas. (martin.sihombing@bisnis.co.id/redaksi@bisnis.co.id)

Indonesia 'raja' jagung? Ayo, kamu bisa

Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

Di koran kita ini, beberapa hari lalu, diberitakan harga kontrak jagung di Chicago diprediksi dapat mencapai level tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Sekitar 26 pihak yang terdiri dari trader, penasehat pertanian, dan ahli komoditas biji-bijian menyarankan pemodal agar membeli jagung.
Pada akhir pekan lalu, harga jagung telah memberikan keuntungan sebesar 1,6% kepada investor dan 81% sepanjang 2006. Harga kontrak jagung untuk pengiriman Maret akhir pekan lalu di Chicago naik US$0,06 menjadi US$3,90 per bushel.
Benar. Hal itu akibat stok jagung yang berkurang. Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), memperlihatkan stok jagung di pasar internasional pada 2006 menurun sekitar 33 juta ton dibandingkan 2005. Stok akhir 2005 mencapai 125,6 juta ton, sedangkan tahun ini 92,7 juta ton.
“Betul. Menurunnya stok jagung di pasar internasional disebabkan meningkatnya permintaan, sementara produksi cenderung stabil,” kata General Manager PT DuPont Indonesia Mardahana.
Penurunan stok jagung itu, terjadi di negara penghasil jagung utama seperti AS, China, Uni Eropa dan Brasil terutama dalam 10 tahun terakhir. Sedangkan naiknya permintaan terutama untuk bahan baku bahan bakar etanol sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada minyak bumi yang harganya terus melambung.
“Fundamental dari peningkatan harga itu berasal dari rencana pengembangan industri etanol,” kata Jerry Gidel, analis pasar North American Risk Management Services Inc, Chicago.
Selain itu, permintaan jagung itu juga untuk memenuhi kebutuhan industri makanan maupun industri pakan ternak. Total produksi jagung di tingkat dunia 690 juta ton, 40% di antaranya kontribusi AS, 20% dari China, 7% dari Uni Eropa dan Brasil sebanyak 6%.
Sedangkan pemakaian jagung untuk etanol khususnya di AS, pada 2005 mencapai 50 juta ton atau 20% dari kebutuhan jagung nasional, sementara untuk 2006 naik menjadi 55 juta ton (22%) dan pada 2008 diperkirakan meningkat menjadi 82 juta ton (30%).
Menurut Mardahana, dengan kondisi pasar internasional seperti itu merupakan peluang bagi Indonesia meningkatkan produksi jagung dan menggenjot ekspor. “Indonesia berpeluang memasok jagung di pasar dunia," katanya.
Memang. Banyak hal yang mendukung, yakni rata-rata produksi jagung Indonesia masih rendah, sehingga masih sangat potensial untuk ditingkatkan. Di samping itu tersedianya varietas unggul hibrida, namun pemakaian masih rendah selain juga benih jagung Indonesia masih bebas dari rekayasa genetika.
Saat ini, kendati Indonesia telah melakukan ekspor jagung sebanyak 40.000 hingga 150.000 ton, impornya masih tinggi, sekitar 400.000 hingga 1,8 juta ton per tahun. Mampukah Indonesia menjadi pemasok jagung dunia?
Deptan memperkirakan potensi ekspor jagung Indonesia pada 2010 mencapai hampir dua juta ton jika laju pertumbuhan produksi nasional dapat sebesar 4,54% per tahun dalam lima tahun mendatang.
Sementara itu, Mardana memperkirakan Indonesia berpeluang ekspor jagung Indonesia terutama ke negara tetangga seperti Malaysia sebesar 2,5 juta ton, Taiwan 4,6 juta ton, Jepang 16 juta ton, Korea 8,5 juta ton, China sebanyak satu juta ton, Mesir 5,3 juta ton, Iran 2,3 juta ton, dan Arab Saudi 1,4 juta ton per tahun.
Dirjen Tanaman Pangan Deptan Sutarto Alimuso mengatakan dengan laju pertumbuhan produksi sebesar itu (4,54%) maka produksi jagung nasional selama empat tahun mendatang diperkirakan bisa mencapai 15,46 juta ton atau naik 3,33 juta ton dari 12,13 juta ton pada 2006.
”Jika kebutuhan jagung dalam negeri pada 2010 sekitar 13,55 juta ton, maka terjadi surplus 1,91 juta ton dan berpotensi diekspor," katanya.
Sutarto menyatakan laju pertumbuhan produksi jagung sebesar 4,5% per tahun itu dicapai dengan upaya peningkatan produktivitas menjadi 3%-3,5% per ha. Saat ini, produktivitas tanaman masih rendah, yakni hanya 3,4 ton per ha.
Seperti diketahui salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman jagung di dalam negeri yakni rendahnya penggunaan benih hibrida yang diyakini memiliki produktivitas 6-7 ton per ha. Saat ini pemakaian benih hibrida di dalam negeri baru 28% dari total areal tanaman jagung di Indonesia.
Kemudian varietas jagung yang banyak digunakan petani yakni jenis komposit mencapai 45%. Padahal produktivitasnya hanya 3,5 ton per ha selain itu benih jagung lokal juga masih dimanfaatkan yang mencapai 27% dengan produktivitas per hektar sebesar dua ton per ha. Pemerintah harusnya segera menangkap potensi pasar yang ada. Langkahnya, mendorong produksi jagung loka, baik untuk isi pasar dalam negeri juga untuk ekspor.
Sutarto mengatakan pemerintah sudah mempersiapakn ke arah itu. Misalnya, kata dia, untuk meningkatkan produktivitas tanaman jagung dalam negeri, pada 2006 pemerintah memberikan bantuan benih hiburda sebanyak 4.048 ton untuk areal seluas 270.000 ha di 133 kabupaten pada 20 provinsi.
Sedangkan pada 2007, bantuan benih hibrida akan disalurkan untuk 298 kabupaten dengan areal seluas 700.000 ha serta benih komposit di 236 kabupaten pada arela 200.000 ha.
Selain itu, juga dilakukan sejumlah upaya seperti perluasan areal tanaman dan optimalisasi pemanfaatan lahan, pengamanan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), pencegahan kehilangan hasil melalui penyiapan silo (gudang penyimpan) dan perbaikan infrastruktur irigasi.
Kemudian, kata Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) Elda Adiningrat, delapan produsen benih di Tanah Air, baik swasta maupun BUMN siap meningkatkan produksi benih pada 2007 menjadi 29.930 ton dari 15.000 ton pada 2006 untuk mendukung peningkatan produksi jagung nasional.
Kita berharap, kondisi pasar jagung yang kondusif itu, seyogyanaya, pemerintah [Deptan] tidak lagi berwacana melalui program yang ada. Ayo, kamu bisa.

Kurang pintar membaca tanda-tanda zaman

Oleh Martin Sihombing

Syahdan, dulu orang-orang tua kita kerap menyampaikan message ---bukan massage— yang intinya mengatakan dalam satu kapal jangan pernah ada dua penunjuk jalan. Sebab, membuat kapal terombang-ambing ke kanan lalu ke kiri dan berputar-putar tanpa arah tujuan yang jelas. Boleh ada dua penunjuk jalan, asalkan sang nakhoda tegas dan cepat dalam mengambil keputusan dari dua pilihan penunjuk.
Ceritanya, pernah suatu kali di dalam satu mobil ada dua penumpang dan satu supir. Penumpang yang satu bilang ke kiri, penumpang satunya lagi bilang kanan. Sementara, tak jauh di depan sana, ada perempatan.
Kedua penumpang itu terus meributkan usulan arah yang mereka usulkan kepada si supir. Bahkan ada yang bertingkah rada dianeh-anehin atau alasannya dipaksakan agar terlihat lebih realistis dan punya power. Sang supir berpikir, menimbang-nimbang, arah mana yang harus diambil? Tapi,keputusan ke arah mana mobil akan berbelok, tak kunjung tiba.
Mobil akhirnya melintasi perempatan jalan. Lampu merah pun diterobos. Perkara besar pun menimpa. Kecelakaan lalu-lintas akibat menerobos traffic light, terjadi. Beberapa sepeda motor pun ikut jadi korban. Ditabrak. Jalan raya macet.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitu yang dirasakan oleh ketiga penumpang di mobil yang menerabas lampu merah tadi. Sudah luka setengah parah, dicaci-maki orang pula. “SIM-nya nembak yah, mas.” Atau “Dasar supir.” “Syukurin. Matanya buta sih. Lampu merah dilanggar.”
Saat memegang kendali, keputusan cepat dan taktis dibutuhkan. Sebutlah misalnya seperti saat harga minyak goreng (migor) mengalami kenaikan.
Apalagi kenaikan itu tidak serta merta Rp8.000 per kilogram (kg). Tapi diawali oleh suatu gejala (fenomena) atau tanda-tanda.
Akhir Maret indikiasi itu sudah terlihat. Bahkan pada April. Saat itu tidak kurang kencangnya seruan agar pemerintah mewaspadai akan naiknya harga minyak goreng. Tapi kenaikkan harga yang belum seberapa itu tertutupi oleh situasi lain yakni melejitnya harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional. Keputusan politik pun tak kunjung turun. Pemerintah (mungkin) terlelap dan bermimpi indah dari harga CPO yang menembus US$700 per ton.
Namun, tatkala harga minyak goreng domestik sampai pada angka crusial, pemerintah seperti tersentak. “Hah, harga minyak goreng naik? Hari gini minyak goreng Rp8.000 per kg?”
Akibatnya, bisa ditebak. Tindakan yang dilakukan seperti supir angkot, seradak-seruduk. Ingin menaikkan pajak ekspor (PE), akan menerapkan kuota ekspor, program stabilisasi harga (PSH) lah sampai yang terakhir mau bikin DMO (domestic market obligation), kenapa tidak DOM atau daerah operasi minyak?
Bukan hanya itu, para pengusaha kelapa sawit pun dikumpulkan, diperintahkan agar menggelar operasi pasar (OP) untuk menstabilkan harga. Mereka diminta berembuk untuk menggelontorkan minyak goreng ke pasar agar harga kembali normal., tanpa subsidi. “Kalau tidak, pemerintah akan menerapkan PE,” ancam pejabat pemerintah.
Turunkah harga migor? OP tak kunjung menuntaskan persoalan, harga naik jalan terus. Sampai masyarakat pun berteriak,”Gile, hari gini ngurusin harga migor aja engga bisa? Gimana, nih dik Fendy?” Meminjam banyolan ala Wapres JK (Jarwo Kuat) di Republik Mimpi.
Dunia usaha kehilangan ‘tembok ratapan’. Semua serba salah. Sukses jualan CPO menggiring devisa ke Indonesia hingga US$4,3 miliar per tahun --dari ekspor CPO-- tidak lagi diingat-ingat.
Tapi tahukah kita kenapa migor ‘bertingkah’ kendati tidak ada permintaan khusus seperti saat lebaran? Pernahkah kita mencoba untuk tahu, persoalan apa yang terjadi dengan pasok CPO untuk migor?
(Seharusnya), pemerintah paham. Berulang-ulang, sejak jauh-jauh hari, termasuk dalam seminar atau lokakarya, telah diprediksi bahwa akan terjadi lonjakan permintaan CPO dunia pada tahun ini. Bahkan dalam seminar nasional kelapa sawit di Nusa Dua, Bali yang dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla, indikasi kuat itu terlihat. Di sana diungkapkan, permintaan CPO dunia tahun ini akan melonjak naik dari demand tahun-tahun sebelumnya.
Di Bali, pada seminar nasional sawit, dalam makalah bertajuk Upaya mewujudkan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri sawit dunia, Ketua Bidang Agroindustri Bambang Palgoenadi memperkirakan, ”Tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan untuk konsumsi 12% dan ekspor 47%.” Itu artinya, pada tahun ini, akan terjadi penambahan permintaan CPO.
Bahkan dalam satu forum lokakarya di Jakarta setahun sebelum seminar di Bali, prediksi kenaikan demand dan harga CPO tahun ini, sudah terungkap jelas, clear. Mentan Anton Apriyantono sendiri, dalam sambutannya berjudul Revitalisasi Sektor Pertanian Sebagai Motor Penggerak Pertumbuhan Ekonomi pada lokakarya nasional berjudul Prospek Industri Kelapa Sawit Indonesia: Sebagai Andalan Petumbuhan Ekonomi Nasional mengakui. “Prospek industri kelapa sawit Indonesia ke depan cukup cerah,” ujar Anton.
Pertama, konsumsi CPO diperkirakan meningkat cukup signifikan. Konsumsi CPO dunia akan tumbuh 7%-8% per tahun melebihi konsumsi minyak nabati lainnya yang hanya bertumbuh 4-5%. Pangsa pasar China dan India menyerap 6-8 juta ton per tahun dan minyak sawit cenderung lebih disukai konsumen karena bukan dari genetical modified organism (GMO) seperti kedelai, jagung dan lainnya.
Kedua, impor China dan India diperkirakan tumbuh positif. Ketiga, harga dalam jangka panjang diperkirakan meningkat. Keempat, peluang penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel semakin besar.
Pemerintah, pengusaha CPO dan kelapa sawit, pun tentu paham. Seperti pada komoditas pertanian lainnya, harga minyak sawit dunia mengalami fluktuasi dengan karakteristik tertentu. Harga minyak sawit dunia akan bergerak naik sampai pada puncak, kemudian akan turun kembali.
Dari kajian Lembaga Pusat Penelitian Perkebunan (LPPP), setiap siklus 10 tahunan, harga akan mengalami puncak yang akan diikuti dengan penurunan. Hal tersebut dapat terlihat pada siklus 1974, 1984, 1994. Fenomena ini terjadi karena penggunaan minyak sawit dapat digantikan oleh minyak nabati lain yaitu minyak kedelai, minyak biji bunga matahari, dan minyak biji lobak.
Pada saat harga minyak sawit rendah, perusahaan akan menggunakan minyak sawit, sehingga harga minyak sawit akan naik. Sampai pada harga puncak, perusahaan makanan akan mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain, sehingga harga minyak sawit akan kembali turun.
Pemerintah pun pasti tahu –seperti prediksi Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Deptan— mulai 2006 akan terjadi peningkatan harga. Sebab, dari hasil analisa mereka, ada faktor baru yang sangat berperan saat ini yakni tingginya permintaan biofuel dan faktor asam lemak trans.
Permintaan biofuel yang tinggi, kata Pemerintah Indonesia, disebabkan semakin tingginya harga minyak bumi, sehingga banyak negara mensubtitusi kebutuhan BBM dari mnyak bumi ke biofuel karena harganya relatif lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya.
Apalagi, Indonesia-Malaysia sepakat mencadangkan enam juta ton CPO untuk pengembangan biodiesel. Cadangan ini ditargetkan akan termanfaatkan sepenuhnya pada tahun depan. Itu memberi konsekuensi, sejak kini, Indonesia harus mulai mencicil stok, yang secara otomatis menyedot aliran CPO untuk migor. Selain itu adanya gangguan iklim dan kontrak jangka panjang yang tak mungkin dianulir.
Faktor asam lemak trans juga berpengaruh terhadap perkembangan permintaan minyak sawit. Mulai 2006 AS melalui Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peraturan pencantuman asam lemak trans (trans fatty acid) pada pelabelan bahan makanan. Peraturan ini akan mempengaruhi permintaan minyak sawit di AS, karena minyak sawit tidak mengandung trans fat yang merugikan kesehatan manusia.
“Peningkatan permintaan minyak sawit akan mempengaruhi peningkatan harga minyak sawit dunia,” tulis satu website lembaga Pemerintah Indonesia.
Dengan fakta itu, pemerintah sebenarnya seharusnya memiliki solusi saat migor ‘bertingkah’. Termasuk kalangan pengusaha. Apalagi seperti dituturkan Mentan, dalam UU Perkebunan 19/2004 soal DMO sudah ada. Sehingga, seharusnya, tingkah migor tidak perlu sampai ikut menambah ramainya negeri ini dengan perang wacana. Instrumen yang ada tinggal diterapkan. Tanpa harus membuat aturan baru.
Tapi boleh jadi, kondisi ini menjadi kristalisasi betapa rapuhnya tingkat koordinasi antar departemen di negeri ini. Mereka selalu ingin menyelesaikan menurut kapasitas dirinya masing-masing. Industri dari aspek industri, dagang dari aspek dagang dan produksi dari sisi produksi. Kalau sudah begini, maka yang terlihat, teralu banyaknya petunjuk, tapi tidak ada ketegasan dan kecepatan mengantisipasi. Ini yang membuat ‘supir’ sulit memutuskan, arah mana yang akan ditempuh? Tidak pintar membaca jaman.

Quo vadis kelapa sawit Indonesia

Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

Krisis sudah 10 tahun berlalu. Kita bersama-sama telah merasakan pedihnya. “Enough is enough!” ujar Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, dalam acara Banker’s Dinnner 2007. Saat ini, Burhanuddin Abdullah menegaskan, Indonesia akan memasuki a defining moment, sebuah tahun penentuan.
Seruan orang nomor satu di BI itu cukup menginsipirasikan langkah untuk mewujudkan ‘mimpi’ Yayasan Indonesia Forum yang memproyeksikan Indonesia menjadi bagian dari lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar US$18.000 pada 2030 dan memproyeksikan 30 perusahaan Indonesia masuk daftar Fortune 500 companies. Maka, jika tahun penentuan ini rusak, mimpi itu akan tinggal di awang-awang.
Padahal, “Itu cita-cita maha besar,” tutur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara pemaparan Visi Indonesia 2030 oleh Yayasan Indonesia Forum yang diketuai pengusaha Chairul Tanjung dengan para pembina yayasan beberapa menteri ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, 22 Maret lalu.
Indonesia bukanlah negara maju. Pertumbuhan angka pengangguran masih tergolong besar. Dalam daftar negara menurut PDB (nominal) per kapita, data International Monetary Fund (IMF) pada 2006, masih berada di peringkat 115 sebesar US$1.640.
Kendati, beradasarkan laporan terbaru Bank Dunia bertajuk East Asia & Pacific Update yang diluncurkan 5 April lalu di Jakarta, pendapatan per kapita di negara-negara yang pernah dilanda krisis rata-rata telah melebihi tingkat prakrisis.
Itu sebabnya, untuk menjaga ritme yang berkesinambungan, instrumen kebijakan ekonomi ditujukan untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Bukan menjadi penghambat, terlebih menggagalkan. Apalagi hasilnya hanya menguntungkan negara lain.
Itulah sebabnya, ketika menggelontorkan pajak ekspor (PE) sebagai instrumen untuk menekan harga minyak goreng (migor), banyak menuai kritik,”Perlu dipikirkan lebih jauh lagi.” Lantaran, ada potensi yang justru membuat upaya menggapai target pembangunan menjadi tidak maksimal dan cenderung terancam gagal.
“Peningkatan PE CPO bakal membuat petani kelapa sawit merugi,” kata Anton Apriyantono, Mentan. Dia mengimbau supaya rencana menaikkan PE CPO harus dilakukan dengan penuh perhitungan. “Kenaikan PE CPO terutama harus memperhatikan dampak terhadap petani kelapa sawit.”
Diakui, seperti halnya beras, CPO merupakan komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia. Pertama, sebagai bahan baku untuk minyak makan utama, harganya memainkan peran penting dalam mendeterminasi angka inflasi ekonomi Indonesia.
“The availability of “essential commodities” at affordable prices is key to the Indonesian government’s policy of maintaining economic and political stability,” tulis Mohamad F. Hasan, Michael R. Reed and Mary A. Marchant dalam hasil analisa mereka bertajuk Effects of an Export Tax on Competitiveness: The Case of the Indonesian Palm Oil Industry.
Tapi, dari studi empiris efek pajak ekspor Akiyama (1992); Bruce and Perez-Garcia (1992); Warr (1997); and Marks, Larson, and Pomeroy (1998), ditegaskan PE memberikan efek pada distribusi pendapatan (income) dari palm oil karena mereduksi harga produk palm oil, ceteris paribus, dan benefiting consumers.
Belum lama ini ada acara Price Outlook di Malaysia. Dalam sambutannya di konferensi internasional Price Outlook itu, mantan menteri senior Malaysia yaitu Primary Industries Minister Dt. YB. Lim Keng Yaik menyatakan the irony is that we developing countrie have to tax our industry, yet we can compete in the global market. “Thanks to Indonesian friends for the U$2 bilion additional income for Malaysia,” ujarnya.
Mengapa? Malaysia mendapatkan keuntungan sebesar US$2miliar sewaktu Indonesia mengenakan pajak ekspor 60% ditahun-tahun sebelumnya. Dengan keuntungan sebesar itu, Malaysia merajalela di pasar minyak sawit dunia karena dibantu oleh Indonesia melalui kebijakan yang sembrono itu.
Pada saat ini, Pemerintah Indonesia kembali getol menaikkan penerimaan dari PE, dan rasanya tidak belajar dari kesalahan masa lalu.
Pesaing kita, Malaysia, pantang mengenakan pajak ekspor (kalau tidak dapat dikatakan mengharamkan pajak ekspor). Di sana diberlakukan cess yang besarnya (kira-kira) 15 ringgit Malaysia (RM/ton atau sekitar US$3,95/ton.
Alokasi hasil pungutan cess ini RM 7,2/ton untuk R&D melalui Porim (Palm Oil Research Institute of Malaysia), RM 2/ton untuk promosi melalui MPOC, RM 1,75/ton untuk Porla (Palm Oil Registration and Licensing Authority ) dan RM 4/MT untuk Safety Net Fund (dana cadangan stabilisasi harga sawit). Artinya, seluruh hasil pungutan kembali ke industri unggulan Malaysia tersebut.
Ketika Oktober 2005 isu mengenai PE CPO mencuat kembali, Reuters pada 6 Oktober (tentang Palm Oil Futures) menulis, Malaysian palm oil surged one percent on talk that Indonesia planned to restrict exports to ensure enough supply of oil at home for the Muslim fasting month of Ramadhan.
Malaysia, produsen dan eksportir palm oil terbesar dan akan memperoleh benefit dari adanya cut shipment dari Indonesia, mereka the biggest rival, meminjam istilah Bambang Aria, Direktur Komersial, PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk.
Mereka masih ingat betapa besar manfaat yang bisa dipetik oleh Malaysia jika Indonesia betul-betul menaikkan pajak ekspornya. CPO Malaysia akan segera mempenetrasi pasar India, tujuan utama ekspor CPO Indonesia. Artinya, kembali pemerintah dan pengusaha Malaysia akan berterima kasih kepada Indonesia yang masih berdarah-darah dan tetap berjibaku membantu Malaysia.Dengan produksi CPO nasional yang

sepakbola Indonesia: Revolusi atau tertinggal?



Sepakbola Indonesia butuh revolusi. Seperti sebuah seruan politik. Mampukah itu diterjemahkan dalam terminologi sepakbola hingga tidak mengesankan sarat rivalitas kepentingan atau golongan atau faksi dalam terminologi ilmu politik ?
Sepakbola sarat dinamisasi seperti halnya kehidupan. Terhenti pada satu konsep pembinaan seperti misalnya sepakbola alat perjuangan –seperti yang dilakukan para pendahulu kita di era penjajahan dulu—justru akan membuat kita tidak mampu mengikuti arus persaingan.
Apalagi jika di kepala orang Indonesia, menjadi pengurus sepakbola adalah rupiah. Menjadi pengurus sepakbola adalah buang uang. Sampai kapanpun, slogan ‘Menuju Pentas Dunia” yang pertama kali didengungkan Azwar Anas dikala menjadi orang nomor satu di tubuh organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia, yah sepakbola kita akhirnya hanya berada di bawah pentas duna itu, hanya jalan ditempat di saat yang lain sudah berlari kencang di jalan tol.
Jepang, misalnya, ketika memproklamirkan hendak menjadi kiblatnya sepakbola dunia di kawasan Asia, tindakan yang diambil tidak lagi mengutak-atik pembagian wilayah kompetisi. Tapi revolusi dalam artian yang sesungguhnya yakni perubahan yang dilakukan secara cepat, yang kemudian ditambahkan menjadi tepat juga.
J-League pun digelar. Miliaran yen digelontorkan untuk menghidupkan fanatisme pada sepakbola. Pemain-pemain ternama, kendati sudah uzur dan tidak sedikit yang sudah dikategorikan pensiun, dipanggil. Mereka dengan segala sisa-sisa kehebatannya, disajikan kepada masyarakat Jepang. Zico, yang kini menjadi pelatih negeri itu, salah satu saksi sejarah perubahan alam pikir orang Jepang tentang sepakbola.
Bukan hanya itu. Promosi pun digerakan secara gencar. Sejumlah perusahaan yang dikategorikan raksasa dunia seperti Toyota, diajak ikut campur membidani lahirnya dunia sepakbola Jepang yang baru yang lebih menyenangkan dan membanggakan. Mereka diajak masuk menjadi penyokong klub, misalnya.
Cara pandang terhadap sepakbola yang lama –di mana sepakbola dijadikan olahraga sambilan—dicabut, tuntas. Warga Jepang seperti dipaksa untuk memiliki pengertian sepakbola adalah soal harga diri. Jepang pun mampu.
Upaya keras menampakkan hasil. Prestasi masuk hingga perempatfinal di Piala Dunia 2002, bukti. Hidetoshi Nakata pun kini mentas di Liga Italia. Yah bukti, memajukan sepakbola memang harus dengan revolusi. Terutama alam pikir. Revolusi di sepakbola bukan semata mengutak-atik bentuk kompetisi dengan dua atau satu wilayah.
Tapi jauh dari itu. Menata ulang filosofi sepakbola di Indonesia. Kita harus menarik alam pikir yang ‘amatir’, yang ecek-ecek dari posisinya dan dibuang untuk digantikan dengan alam pikir sepakbola yang lebih moderen, bisnis dan harga diri.
Tentu, itu tidak lantas melahirkan kesempurnaan dalam sekejap. Ada proses yang ahrus dilaui. Revolusi itu adalah perubahan yang dilakukan secara total. Dan problematika sepakbola di Tanah Air tercinta ini, sudah tidak lagi sedikit. Berbagai persoalan telah mengakumulasi menjadi satu persoalan yang rasanya sulit untuk dituntaskan. Apalagi, revolusi itu perlu disosialisasikan dan diyakinkan kepada semua orang di mana ujungnya adalah tingginya nilai harga diri bangsa Indonesia di mata dunia.
Kita tidak lagi bisa menjadikan sepakbola mediasi popularitas diri. Itu murahan. Apalagi dijadikan alat mencari makan semata tanpa perduli apa hasil atau prestasi pada tim yang diurus. Harus dipahami muara dari pengelolaan sebuah tim sepakbola adalah juara dan juara. Juaralah yang mampu mendatangkan rupiah, dolar dan sebagainya.
Terbayangkah oleh kita sepakbola dunia akan sehebat saat ini jika federasi sepakbola dari negara yang sepakbolanya tergolong paling hebat di dunia seperti Jerman, Inggris, Italia, Brasil, termasuk federasi asosiasi sepabola seperti UEFA dan FIFA, tidak berpikir yang orientasinya prestasi dan cenderung matre ?
Rasanya, sulit. Sepakbola mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, di Indonesia apalagi, harus melakukan revolusi. Segera.
Tidak usah malu untuk mengatakan pola pikir kita terhadap sepakbola dunia ‘sana’ sudah jauh tertinggal. Sebutlah misalnya dengan Jepang, Korsel lebih-lebih lagi dengan negara-negara di benua Eropa dan Amerika.
Dengan langkah yang sudah dilakukan secara apa adanya saja kita sudah jauh tertinggal, apalagi jika kita pun tida mau membenahi diri secara tuntas terutama alam pikiran kita terhadap sepakbola.
Jangan-jangan, ketika orang sudah berbicara soal penggunaan teknologi di sepakbola, Indonesia masih berkutat soal “Biaya kongres di hotel anu belum dibayar”. Atau saat negara lain sudah bicara Piala Dunia, kita masih terus saja bicara Sea Games dan Piala Tiger. Kasihan deh, luh.


Japfa bangun 2 pabrik senilai US$11,3 juta

JAKARTA: PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk akan membangun pabrik pakan ternak baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya dengan investasi US$11,3 juta.
Pabrik baru itu, yang kini dalam tahap pembangunan, akan berlokasi di Bati Bati, Kalimantan Selatan dan di Padang, Sumatra Barat. Pabrik di Bati Bati diperkirakan akan beroperasi mulai akhir tahun ini, sementara pabrik di Padang, yang juga sudah dalam tahap pembangunan, baru akan beroperasi pada kuartal pertama 2008.
Total kapasitas kedua pabrik yang baru itu diperkirakan mencapai 360.000 ton per tahun. Jumlah itu akan mendongrak produksi pakan ternak perusahaan itu menjadi 2,08 juta ton dari sebelumnya (saat ini) 1,72 juta ton.
Selain itu, Japfa juga akan membangun pabrik pengolahan jagung di Grobogan, Jawa Tengah yang akan mensuplai bahan baku pabrik pakan ternak perusahaan itu.
Perusahaan itu, pada 2006 perusahaan mencatat net profit IDR 238 miliar, lima kali lipat dari pendapatan 2005 yang mencapai IDR41 miliar. Untuk 2007, perusahaan menarggetkan pendapaan penjualan IDR7 triliun dan net profit IDR245 miliar.
Selain itu, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. menerbitkan obligasi Japfa I-2007 senilai Rp500 miliar dengan tingkat bunga sekitar 12,33% hingga 12,87%.
Obligasi dengan rating BBB+ dari Pefindo itu memiliki jangka waktu lima tahun, dan dengan rating itu kupon bunga yang tawarkan cukup tinggi. “Karena dari sisi keuangan kinerja penjualan Japfa dalam tiga tahun terakhir terus meningkat,” kata Senior Director Head of Invesment Banking Trimegah Securities, Akhabani, selaku penjamin emisi obligasi.
Sementara itu, Direktur Japfa Comfeed, Herry Wibowo, mengatakan dana yang diperoleh dari penawaran obligasi ini akan digunakan sebesar 20% untuk investasi berupa pembangunan dua pabrik pakan ternak di Padang, Sumatera Utara, dan Bati-Bati Kalimantan Selatan, serta untuk pembelian satu unit pengeringan jagung di Grobogan, Jawa Tengah.
Dia mengemukakan, sekira 50% akan digunakan untuk refinancing pinjaman bank (BRI) senilai Rp250 miliar, dari total pinjaman senilai Rp400 miliar. Sedangkan sisanya sebesar 30% akan dipergunakan untuk modal kerja.
“Untuk investasi pembanguan dua pabrik ini, kita membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar,” ujarnya.
Masa book-building obligasi ini pada 31 Mei-10 Juni 2007, masa penawaran rencananya akan dilakukan 26-28 Juni, diperkirakan pada 5 Juli akan listing di Bursa Efek Surabaya (BES).
Bertindak sebagai penjamin emisi selain Trimegah Securties, perseroan juga menunjuk Bahana Securities. Bertindak sebagai wali amanat adalah Bank Mega.
Herry menargetkan penjualan tahun ini dapat meningkat 9,4% menjadi Rp7 triliun dari tahun sebelumnya sekitar Rp6,4 triliun. Kenaikan pendapatan itu menyebabkan perseroan menargetkan laba bersih pada 2007 sebesar Rp 210 miliar.